Wisata Pura Parahyangan Agung Jagatkartta Pura yang diAnggap Sakral
Pengunjung kemungkinan besar akan memberikan perhatian penuh pada area candi untuk memanfaatkan kondisi bangunan yang masih asli.
Pembangunan pura di puncak Gunung Salak ini terinspirasi dari sekelompok orang yang sedang mencari tempat suci di daerah terpencil dan tandus. Pelinggih kini menjadi tempat doa dan meditasi jauh dari hiruk pikuk di mana orang dapat fokus pada Tuhan. Keadaan ini semakin nyata ketika berbagai kalangan mulai menentang pendirian negara suci tersebut, yang akhirnya menimbulkan keinginan untuk membangun candi yang besar.
Pembangunan pura di dekat puncak gunung Salak dimulai pada tahun 1995. Pembangunan itu terlihat dengan dibangunnya sebuah candi tepat di mana jenazah Prabu Siliwangi, seorang raja Sunda dari Zaman Keemasan Kerajaan Hindu Pajajaran, dikebumikan. Nama Penataran Agung Gunung Salak diberikan ke candi ini selama pembangunan.
Pembangunan candi memakan waktu hingga 10 tahun. Nama Pura Parahyangan Agung Jagatkarta diberikan kepada pura ini hingga tahun 2005. Nama itu memiliki makna filosofis yang mendalam tentang bagaimana alam semesta diatur. Nama Jagatkartta berasal dari gelar Sang Hyang ketika ia menulis Ida Sang Hyang Widhi Wasa Menciptakan Alam Semesta dan mewariskan Sang Hyang Catur Veda.
Meski nama yang diberikan pada pura ini secara filosofis terkait dengan keseimbangan kosmologis, nama Parahyangan Agung Jagatkartta juga memiliki makna yang dalam menurut etimologi. Sedangkan agung besar atau mulia menunjukkan sesuatu, parahyangan mengacu pada lokasi Hyang Widhi. Di antara mereka, Kartta menunjukkan kelahiran, dan Jagat menunjukkan lapangan. Tertulis dengan nama Taman Sari, yang diambil dari nama kabupaten Bogor tempat pura ini dibangun—khususnya di pedesaan dan pedesaan dekat kaki gunung Salak—di kawasan Tamansari. Dengan demikian, nama Pura Parahyangan Agung Jagatkartta Tamansari mengacu pada sebuah pura yang terletak di lokasi yang indah dengan tujuan menjadikan Tuhan Yang Maha Esa.
Upacara Ngenteg Linggih menandai awal berdirinya pura yang berfungsi sebagai tempat pelelangan kuda. Pada tanggal 19 Agustus 2005, bulan purnama Karo, Sukra Po Kuliantir, dijadikan sebagai lokasi rangkaian ritual. Puncak acara Ngenteg Linggih yang dilaksanakan pada tanggal 19 September 2005 lalu. Komisi pembangunan diinstruksikan untuk membangun semua tempat suci selama proses konstruksi sepuluh tahun.
Pengunjung menerima dokumen untuk digunakan sebagai pembayaran saat berurusan dengan area candi. Pengunjung dapat mendekati kuil setelah meninggalkan kapal mereka melalui jalan setapak setelah meninggalkan kapal mereka. Pengunjung dapat menikmati ketenangan kompleks candi dengan latar belakang gunung Salak sambil berdiri di tengah kesejukan udara pegunungan di kawasan candi. Bangunan utama candi yang hanya diperuntukkan bagi belakang untuk digunakan sebagai undangan, tidak dapat diakses oleh semua pengunjung.
Pura Parahyangan Agung Jagatkartta terdiri dari banyak bangunan di seluruh area, termasuk pelinggih di Padmasana dan Utama Mandala. Sebuah pura, tiga pepelik-balen, pesamuan agung-baal, bale paselang, pawedan, beton panjang, dan podium semuanya terlihat di sana.
Setelah delapan tahun beroperasi, Pura Parahyangan Agung Jagatkartta yang terletak di dekat kaki gunung Salak ini tidak lagi hanya sebagai tempat sesajen umat Hindu, tetapi juga sebagai tempat toleransi beragama bagi masyarakat yang mencari suasana damai dan tenteram. Sejatinya meski mengamati kemegahan bangunan candi, para turis yang datang dari agama non-Hindu juga menikmati udara yang sejuk.