Menjelajahi Desa-desa Wisata di Tapanuli Utara, Sisi Lain dari Danau Toba
Tahukah Sobat Pesona, bahwa Samosir bukan satu-satunya pulau indah di Danau Toba?
Ya, masih ada pulau lain yang tak kalah memesona, yaitu Pulau Sibandang dengan desa-desa wisata cantik dan warganya yang ramah menyambut wisatawan, seperti Desa Sibandang dan Papande. Pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, satu dari delapan kabupaten penyangga kawasan Destinasi Super Prioritas Danau Toba.
Nah, jika Sobat Pesona berkunjung ke wilayah ini, sempatkan juga berkunjung ke Desa Aritonang. Kenapa? Karena ketiga desa di Tapanuli Utara tersebut konon memiliki kaitan erat dalam sejarahnya.
Penasaran kan? Simak yuk, serunya wisata sejarah dan budaya, serta agrowisata di Tapanuli Utara ini.
Agrowisata untuk Memperkenalkan Hasil Alam
Sebagai desa dengan sumber daya alam melimpah dan warganya banyak berprofesi sebagai petani, beberapa desa wisata di Pulau Sibandang menjadikan agrowisata sebagai salah satu potensi wisata yang dapat dikembangkan. Di antaranya perkebunan kopi, kokoa, serta mangga. Selain menjadi salah satu solusi untuk memperkenalkan hasil bumi kepada tamu yang datang, agrowisata juga menyediakan peluang usaha dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi warga desa.
Perkebunan Mangga Udang banyak terdapat di Desa Sibandang dan Papande. Salah satunya, milik Partahian Siregar di Desa Papande. Buah yang beraroma harum ini menjadi salah satu ciri khas dari Pulau Sibandang dan wisatawan bisa memetiknya langsung di kebun. Uniknya, mangga ini dapat disantap langsung bersama kulitnya.
1 kg mangga udang dijual seharga Rp 15.000. Biasanya, buah dipanen setiap Juni dan tiap kali jumlahnya bisa mencapai 14 keranjang dengan berat sekitar 50 kg per keranjang. Sebagian besar buah ini dikirim ke wilayah Parapat.
Industri Rumahan Kain Tenun Ulos
Selain agrowisata, terdapat pula industri rumahan kain ulos yang menjadi sumber penghasilan warga dari sektor pariwisata. Kain ulos dari Desa Papande cukup dikenal, dengan motif-motif unggulannya.
Salah satu pegiat industri ini adalah Erison Siregar yang mengembangkan produksi kain ulos tenun sebagai cendera mata. Ada beberapa motif yang dihasilkan seperti Siblang, Setelutuho, Bolehan, Tongararagi hidup, Mangiring, Tobu-tobu, dan motif yang sedang terkenal saat ini yaitu Harungguan. Sentra produksinya menaungi 10 orang perempuan penenun yang sudah menenun semenjak remaja. Bahkan, bapak-bapak dan remaja pria pun terkadang turut membantu membentangkan benang dan memberi warna.
Jika ingin membeli kain ulos ini, wisatawan harus memesannya terlebih dahulu. Durasi pembuatannya bermacam-macam, tergantung dari tingkat kesulitannya, bisa hingga dua minggu atau satu bulan. Pewarnaannya menggunakan bahan alami maupun sintesis. Untuk pewarna alami, biasanya memakai kulit mahoni yang menghasilkan warna cokelat, daun jati untuk warna cokelat atau kuning, indigo untuk warna ungu, kulit nangka yang menghasilkan warna kuning atau jingga, daun mangga untuk warna hijau kekuningan, dan daun alpukat yang juga menghasilkan warna cokelat.
Harga yang ditawarkan pun beragam, cenderung lebih mahal jika memakai pewarna alami. Harga satu set selendang dan sarung dari kain ulos bisa mencapai Rp 1.600.000. Namun jumlah pemesan terbilang banyak. Seminggu saja, kain ulos yang dikerjakan bisa mencapai sepuluh buah. Tentu, taraf perekonomian warganya pun meningkat berkat kerajinan kain ulos ini.
Memandang Sibandang Sebagai Pulau Para Raja
Jika datang ke Pulau Sibandang, jangan lupa wisata sejarah mengunjungi makam para Raja Batak, yaitu ke makam Opung Rajaguguk, Simaremare, dan Ompusunggu. Ketiga nama ini juga menjadi nama marga warga setempat, berdampingan dengan satu marga lain yaitu Siregar.
Alkisah pada zaman dahulu kala, mereka lah yang membuka desa-desa di pulau ini. Karena itu, warga begitu menghormati para raja tersebut. Adanya makam-makam ini juga menunjukkan, bahwa meski berbeda marga, tetapi mereka dapat hidup berdampingan dengan baik di pulau yang sama.
Tugu Aritonang, Simbol Ketiga Marga
Tugu Aritonang di Bukit Desa Aritonang merupakan simbol kekerabatan ketiga marga di Pulau Sibandang, meski desa ini tidak terletak di pulau tersebut.
Adalah Aritonang yang memiliki tiga orang anak, yaitu Ompusunggu, Rajagukguk, dan Simaremare yang merantau serta meneruskan keturunan ke Pulau Sibandang. Pulau ini mereka pilih lantaran jaraknya yang dekat serta hasil alamnya melimpah. Suburnya tanaman coklat, kopi, dan padi yang membuat desa ini pantas disebut lumbung pangan.
Di puncak Tugu Aritonang yang ikonik ini terdapat simbol tiga helai daun, yang konon melambangkan kerukunan ketiga keturunan Aritonang.
Nah, biar bisa merasakan sendiri pesona Tapanuli Utara, serta menyelami sejarah di tempat aslinya, masukkan agenda jalan-jalan ke sana yuk, untuk liburan mendatang.
Horas!